sejarah kebudayaan suku rejang

| Wednesday 30 May 2012

Seni dan Budaya Rejang dan Persoalannya
Maret 13, 2009
oleh Erwin S Basrin
Suku Rejang adalah salah satu suku tertua di pulau Sumatra selain suku Bangsa Melayu, argumen ini dikuatkan bahwa Suku Rejang ini telah memiliki tulisan dan bahasa sendiri, ada perdebatan-perdebatan panjang mengenai asal-usul Suku Rejang, selain sejarah turun temurun beberapa tulisan tentang rejang ini adalah tulisan John Marsden (Residen Inggris di Lais, tahun 1775-1779), dalam laporannya dia meceritakan tentang adanya empat petulai Rejang yaitu Joorcalang (Jurukalang), Beremanni (Bermani), Selopo (Selupu) dan Toobye (Tubai).[1]
Catatan-catatan lain tentang Kedudukan 4 Petulai tersebut sebagai komunitas adat asli Rejang, dalam laporannya mengenai ‘adat-federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang Dr. JW. Van Royen menyebutkan bahwa kesatuan Rejang yang paling murni dimana marga-marga dapat dikatakan didiami hanya oleh orang-orang di satu Bang, harus diakui Rejang yang ada di wilayah Lebong.[2]
System Petulai dalam sejarah Suku Bangsa Rejang dan warga komunitasnya merupakan himpunan manusia (indigenous community) yang tunduk pada kesatuan Hukum yang dijalankan oleh penguasa yang timbul sendiri dari Masyarakat Hukum Adat, kelembagaan petulai adalah kesatuan kekeluargaan yang timbul dari system unilateral (kebiasaanya disusurgulurkan kepada satu pihak saja) dengan system garis keturunannya yang partrinial (dari pihak laki-laki) dan cara perkawinannya yang eksogami, sekalipun mereka berada di mana-mana.[3]
Sebagai indigenous community suku bangsa rejang tentunya memiliki beberapa kearifan local dalam mengurus diri (manusia, alam dan gaib) kemudian dikenal dengan istilah local adat rian ca’o atau adat neak kutai nated. Aplikasi system ini umumnya dalam system adat Rejang di aplikasikan dalam berbagai bentuk dengan nilai estetika yang tinggi, system demokrasi diaplikasikan dengan musyawarah mupakat oleh tetua adat yang kuat akan legitimasi komunitas ‘            jurai’ yang dipimpinnya, dengan sumber-sumber daya alam system pengelolaannya lebih kental dengan system kepemilikan komunal di beberapa tahapannya dilakukan dengan menampilkan seni budaya yang magis, ‘kedurai’ adalah salah satu budaya untuk membuka Hutan, ‘Mundang Biniak’ acara seni budaya ketika menanam padi, dan ‘kedurai agung’ adalah pentas seni kolosal yang dipercayai mampu menangkat musibah bagi komunitas tertentu.
Jika dilihat lebih jauh aplikasi system seni dan budaya ini sangat kuat akan nilai-nilai yang tentunya akan bermanfaat baik bagi keberlanjutan komunitas Rejang secara umum, baik system kelembagaan komunal maupun keberlanjutan sumber-sumber daya alam yang ada dalam lingkup komunitas Rejang yang sangat memiliki hubungan dengan masing-masing petulai. UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa tidak hanya berdampak pada system dan legitimasi hokum atas kelembagaan adat di Rejang tetapi di saat yang sama mengenalisir aplikasi seni dan budaya, mendistorsi definisi adat, kemudian secara berlahan-lahan sistem social dengan kepemilikan komunal mulai berganti dengan system individualism yang sempit dan mengedepankan akumulasi capital yang exploitative baik terhadap sumber-sumber daya alam maupun terhadap system social dalam bentuk seni budaya.
Persoalan ini kemudian lambat laun akan berdampak pengahancuran lebih jauh terhadap kelembagaan, seni dan budaya masarakat Rejang sehingga hal yang paling mungkin untuk dilakukan adalah dengan mendokumentasikan kembali system-system seni dan budaya tersebut, sehingga nilai-nilai yang terkandung didalamnya akan menumbuhkan apresiasi tidak hanya bagi komunitas Rejang tetapi apresiasi masyarakat lebih luas terhadap nilai-nilai yang terkandunbg didalamnya yang tentunya lebih mampu mengelola dirinya secara baik dan berkelanjutan.
Suku Rejang, yang dikenal sebagai satu di antara sedikit suku asli penduduk Bengkulu, memiliki budaya yang beragam. Ragam budaya itu meliputi tulisan, adat istiadat, hukum adat, kesenian, dan sastra. Khusus untuk sastra lisan, suku ini juga memiliki berbagai macam jenis sastra, antara lain Nandei, Geritan, Berdai, Pantun, Syair, Sambei, dan Serambeak. Jenis sastra yang disebut terakhir inilah yang lebih populer digunakan sehari-hari — baik oleh orangtua, remaja, dan anak-anak — dalam berinteraksi.
Kekayaan budaya suku Rejang, dalam pandangan seorang pemerhati masalah budaya di Bengkulu, Drs Tommy Suhaimi MSi, direfleksikan dengan banyaknya orang asing serta pejabat pemerintahan di zaman Belanda dan Inggris yang menulis dokumen tentang suku-bangsa ini. Setiap kali akan mengakhiri jabatannya di wilayah yang didiami suku Rejang, pejabat penjajahan di masa lalu itu selalu menyempatkan untuk menulis dokumen tentang suku Rejang dalam
bentuk pidato pertanggungjawabannya. Dokumen ini di kemudian hari menjadi bahan kajian bagi pejabat berikutnya. Serambeak sendiri bisa diartikan sebagai pengungkapan cetusan hati nurani dengan menggunakan bahasa yang halus, indah, berirama, dan banyak menggunakan kata-kata kiasan. Menurut Tommy, yang kini menjabat Kepala bagian Humas Pemda Kodia Bengkulu, serambeak dipakai dalam bidang yang cukup luas oleh suku Rejang. Dalam kehidupan sehari-hari — waktu bermusyawarah maupun mengobrol biasa — sering disisipkan serambeak di tengah pembicaraan. Begitu juga ketika menyambut tamu yang dihormati, serta dalam rangkaian kegiatan perkawinan, dalam pergaulan muda-mudi, dan lain-lain.

Bagi suku Rejang, tamu memiliki arti penting yang harus dihormati dan dilayani dengan baik.
Oleh sebab itu serambeak khusus untuk tamu juga banyak ragammnya.
Di antaranya:
Dio ade iben sapai daet, moi mbuk iben. Iben ade delambea, gambea ade decaik, pinang ade desisit, rokok ade depun. Ibennyo iben pena’ak magea suko panggea. Salang tun dumai belek moi talang. Salang tun talang belek moi sadei. Dapet kene ta’ak dengen tawea. Salang magea mendeak simeak. Arak suko padaa ngalo. Arak magea mendeak simeak. Agang magea suko panggea.
Terjemahannya kira-kira:
Ada sirih terhampai di darat, makanlah sirih. Sirih ada selembar, gambir ada secarik, pinang ada seiris, rokok ada sebatang. Sirih ini sirih penyapa untuk para tamu yang berdatangan. Sirih penyapa bukan karena membuat kesalahan, tidak pula karena membuat yang tidak baik. Sirih penyapa karena kami penuh harap, harap kepada tamu yang datang. Gembira karena memenuhi undangan. Sedangkan orang di ladang pulang ke talang, orang di talang pulang ke dusun. Semuanya diundang, rasa suka dan gembira atas kedatangan tamu semuannya. Bagi muda-mudi, kesantunan seseorang terucap dari serambeak yang disampaikan

Berikut ini contohnya:
Tun meleu diem puluk kelem. Tun titik diem beak lekok.
(Orang hitam diam ditempat gelap. Orang kecil berada di lembah yang dalam).
Serambeak ini bermaksud sebagai sikap merendahkan diri bahwa ia orang yang serba kekurangan dan penuh kelemahan. Pemakainya biasa digunakan oleh remaja waktu pacaran sebagai ungkapan bahwa ia penuh kekurangan. Keunikan suku Rejang yang jumlahnya diperkirakan sekitar 900 ribu jiwa — mereka menghuni Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Musi Rawas (Sumsel), dan Kabupaten Lahat (Sumsel) mampu menarik perhatian peneliti asing. Burhan Firdaus dalam bukunya Bengkulu dalam Sejarah yang diterbitkan oleh Yayasan Seni Budaya Nasional Indonesia 1988, mengungkapkan adanya seorang peneliti dari Australia Prof MA Jaspan dari Australia National University (ANU) yang menetap bersama keluarga setempat tahun 1961-1963 untuk meneliti suku bangsa Rejang.

            Jaspan menghasilkan beberapa buku, antara lain From Patriliny to Matriliny, Structural Change Amongst the Redjang of Soutwest Sumatra, Folk Literature of South Sumatra: Redjang Ka-ga-nga Texts, dan The Redjang Village Tribunal.
            Buku-buku itu sampai kini jadi bahan kajian penting bagi mahasiswa asing yang mengambil studi sejarah budaya Indonesia. Residen kedua Bengkulu, Prof Dr Hazairin SH, yang oleh pemerintah dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional pada 10 Nopember 1999, mempertahankan disertasi doktornya berjudul De Redjang untuk mendapatkan gelar PhD, dalam bidang hukum adat. Menurut Ketua Masyarakat Adat Bengkulu Zamhari Amin, serambeak membuktikan bahwa nenek moyang kita dahulu mempunyai budi bahasa, sopan santun, perasaan hati nurani yang halus, dan tatacara pergaulan yang tinggi nilainya.

Oleh karena itu, sudah sewajarnya generasi muda sebagai generasi penerus mengadakan penelitian, pengumpulan, guna menggali dan menghidupkan kembali budaya yang tinggi nilainya agar diketahui dan dipelajari oleh khalayak ramai.
Kalangan orangtua yang masih memahami dan menguasai dinamika kebudayaan sukubangsa Rejang, menurut Zamhari, kini sudah semakin berkurang. Mereka pada umumnya tidak meninggalkan bukti tertulis tentang seluk-beluk kebudayaan Rejang.
”Jika kondisi ini terus berlangsung, dalam lima dasawarsa mendatang, tidak hanya serambeak, tapi kebudayaan suku Rejang tidak akan diketahui lagi oleh generasi mudanya. Selain itu, orang Rejang sendiri terdistorsi oleh kebudayaan lain bahkan budaya asing,” ujarnya.

pertamanya ditemukan di Desa Siang, muara sungai ketahun. Pada masa itu pemimpin masyarakat rejang adalah Haji Siang. Dimana sebelum Haji Siang, lima tahap diatas Haji Siang orang rejang sudah ada. Pada masa haji ini ada emapat orang haji yaitu Haji Siang, Haji Bintang, haji Begalan Mato dan Haji Malang. Karena mereka berempat tidak bisa memimpin dalam satu daerah, akhirnya mereka membagi wilayah kepemimpinan. Haji Siang tinggal di Kerajaan Anak Mecer, Kepala Sungai Ketahun, Serdang Kuning. Haji Bintang ada di Banggo Permani, manai menurut istilah rejangnya yang sekarang terletak di Kecamatan Danau Tes. Haji Begalan Mato tinggal di Rendah Seklawi atau Seklawi Tanah Rendah. Kerajaan Haji Malang bertempat tinggal diatas tebing, sekarang namanya sudah menjadi Kecamatan Taba' Atas.

Dalam keempat kepemimpinan ini mereka ada sebuah falsafah hidup yang diterapkan yang itu pegong pakeui, adat cao beak nioa pinang yang berartikan adat yang berpusat ibarat beneu. Bertuntun ibarat jalai (jala ikan), menyebar ibarat jala, tuntunannya satu. Jika sudah berkembang biak asalnya rejang tetap satu. Kenapa ibarat beneu? beneu ini satu pohon, tapi didahan daunnya kait-mengait walaupun ada yang menyebar atau menjalar jauh. Walaupun pergi ketempat yang jauh tapi tahu akan jalinan/hubungan kekeluargaannya. Bisa kembali lagi darimana asal mereka berada.

Pegong pakeui juga mengajarkan bahwa kita sebagai manusia mempunyai hak yang sama. Jika kita sama-sama memiliki, maka kita membaginya sama rata. Jika kita menakar (membagi), misalnya membagi beras, kita menakarnya sama rata atau sama banyaknya. Jika kita melakukan timbangan, beratnya harus sama berat. Itulah pegong pakeui orang rejang. Amen bagiea' samo kedaou, ameun betimbang samo beneug, amen betakea samo rato. Artinya jika membagi sama banyak, jika menimbang sama berat, jika menakar sama rata). Itulah cara adat rejang.

Dengan persebaran dan berkembang biaknya dari empat kerjaan ini mereka mencari tempat-tempat di kepala air (hulu sungai) untuk dijadikan tempat tinggal. Seperti yang ada sekarang ini yaitu Rejang Aweus, Rejang Lubuk Kumbung yang ada didaerah Muaro Upit, Rejang Lembak (Lembok Likitieun, Lembok Pasinan) dan termasuk juga Rejang Kepala Curup. Dasar persebaran ini adalah dari Rio (belum jelas Rio ini siapa dan keturunan darimana). Dipercaya Rio berasal dari Desa Topos yang pecahan kebawahnya adalah Tuanku Rio Setagai Panjang. Rio Setagai Panjang ini memiliki tujuh orang bersaudara dan berpencar untuk mencari tempat tinggal. Diantara dari tujuh Rio tersebut dan persebarannya di Bengkulu adalah sebagai berikut:
1. Rio Tebuen ada di Desa Lubuk Puding, Pasema Air Keruh
2. Rio Penitis ada di Curup. daerah Selumpu Sape
3. Rio Mango' keturunannya sekarang mulai dari Pagar Jati sampai ke hulu nya yaitu Desa Gading, Padang Benar dan Taba Padang
4. Rio Mapai sekarang keturuanannya ada di Kecamatan Lais, itulah asal orang rejang yang terletak di bagian utara

Suku Rejang memiliki lima marga, yaitu Jekalang, Manai, Suku Delapan, Suku Sembilan dan Selumpu. Lima marga inilah sekarang yang ada di tanah rejang yang ada di Bengkulu. Jika ada yang pindah ketempat lain mereka akan tetap berdasarkan lima marga tersebut. Walaupun mungkin banyak orang-orang rejang yang ada di Bengkulu sudah tidak tahu lagi mereka masuk kedalam marga apa. Dikatakan oleh orang tua dahulu pecua' bia piting kundei tanea' ubeuat, pecua bia' piting kundei tanea' guao', istilah rejangnya mbon stokot, 'mbar-mbar ujung aseup, royot kundeui ujung stilai. Artinya masih ada asal usul yang menyangkut tanah lebong, walau dia berpencar kemanapun. Dari kepercayaan yang ada, mereka percaya asal mula rejang itu satu. Tidak ada bibitnya (asal usulnya) dari orang lain. Semuanya berasal dari Ruang Lebong atau Daerah Lebong yaitu dari Ruang Sembilan Sematang. Walaupun sekarang orang rejang atau suku-suku rejang sudah menyebar dipelosok nusantara ini ataupun diluar negeri sekalipun.
Sumber:  http://taneaktanai.blogspot.com/2009/03/menapak-jejak-sejarah-suku-rejang.html


0 comments:

Post a Comment

Next Prev
▲Top▲