Seni
dan Budaya Rejang dan Persoalannya
Maret
13, 2009
oleh
Erwin S Basrin
Suku
Rejang adalah salah satu suku tertua di pulau Sumatra selain suku Bangsa
Melayu, argumen ini dikuatkan bahwa Suku Rejang ini telah memiliki tulisan dan
bahasa sendiri, ada perdebatan-perdebatan panjang mengenai asal-usul Suku
Rejang, selain sejarah turun temurun beberapa tulisan tentang rejang ini adalah
tulisan John Marsden (Residen Inggris di Lais, tahun 1775-1779), dalam
laporannya dia meceritakan tentang adanya empat petulai Rejang yaitu Joorcalang
(Jurukalang), Beremanni (Bermani), Selopo (Selupu) dan Toobye (Tubai).[1]
Catatan-catatan
lain tentang Kedudukan 4 Petulai tersebut sebagai komunitas adat asli Rejang,
dalam laporannya mengenai ‘adat-federatie in de Residentie’s Bengkoelen en
Palembang Dr. JW. Van Royen menyebutkan bahwa kesatuan Rejang yang paling murni
dimana marga-marga dapat dikatakan didiami hanya oleh orang-orang di satu Bang,
harus diakui Rejang yang ada di wilayah Lebong.[2]
System
Petulai dalam sejarah Suku Bangsa Rejang dan warga komunitasnya merupakan
himpunan manusia (indigenous community) yang tunduk pada kesatuan Hukum
yang dijalankan oleh penguasa yang timbul sendiri dari Masyarakat Hukum Adat,
kelembagaan petulai adalah kesatuan kekeluargaan yang timbul dari system
unilateral (kebiasaanya disusurgulurkan kepada satu pihak saja) dengan system
garis keturunannya yang partrinial (dari pihak laki-laki) dan cara
perkawinannya yang eksogami, sekalipun mereka berada di mana-mana.[3]
Sebagai
indigenous community suku bangsa rejang tentunya memiliki beberapa
kearifan local dalam mengurus diri (manusia, alam dan gaib) kemudian dikenal
dengan istilah local adat rian ca’o atau adat neak kutai nated. Aplikasi
system ini umumnya dalam system adat Rejang di aplikasikan dalam berbagai
bentuk dengan nilai estetika yang tinggi, system demokrasi diaplikasikan dengan
musyawarah mupakat oleh tetua adat yang kuat akan legitimasi komunitas ‘ jurai’ yang dipimpinnya, dengan
sumber-sumber daya alam system pengelolaannya lebih kental dengan system
kepemilikan komunal di beberapa tahapannya dilakukan dengan menampilkan seni
budaya yang magis, ‘kedurai’ adalah salah satu budaya untuk membuka Hutan,
‘Mundang Biniak’ acara seni budaya ketika menanam padi, dan ‘kedurai agung’
adalah pentas seni kolosal yang dipercayai mampu menangkat musibah bagi
komunitas tertentu.
Jika
dilihat lebih jauh aplikasi system seni dan budaya ini sangat kuat akan
nilai-nilai yang tentunya akan bermanfaat baik bagi keberlanjutan komunitas
Rejang secara umum, baik system kelembagaan komunal maupun keberlanjutan
sumber-sumber daya alam yang ada dalam lingkup komunitas Rejang yang sangat
memiliki hubungan dengan masing-masing petulai. UU No 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa tidak hanya berdampak pada system dan legitimasi hokum atas
kelembagaan adat di Rejang tetapi di saat yang sama mengenalisir aplikasi seni
dan budaya, mendistorsi definisi adat, kemudian secara berlahan-lahan sistem
social dengan kepemilikan komunal mulai berganti dengan system individualism
yang sempit dan mengedepankan akumulasi capital yang exploitative baik terhadap
sumber-sumber daya alam maupun terhadap system social dalam bentuk seni budaya.
Persoalan
ini kemudian lambat laun akan berdampak pengahancuran lebih jauh terhadap
kelembagaan, seni dan budaya masarakat Rejang sehingga hal yang paling mungkin
untuk dilakukan adalah dengan mendokumentasikan kembali system-system seni dan
budaya tersebut, sehingga nilai-nilai yang terkandung didalamnya akan
menumbuhkan apresiasi tidak hanya bagi komunitas Rejang tetapi apresiasi
masyarakat lebih luas terhadap nilai-nilai yang terkandunbg didalamnya yang
tentunya lebih mampu mengelola dirinya secara baik dan berkelanjutan.
Suku Rejang, yang dikenal
sebagai satu di antara sedikit suku asli penduduk Bengkulu, memiliki budaya
yang beragam. Ragam budaya itu meliputi tulisan, adat istiadat, hukum adat,
kesenian, dan sastra. Khusus untuk sastra lisan, suku ini juga memiliki berbagai
macam jenis sastra, antara lain Nandei, Geritan, Berdai, Pantun, Syair, Sambei,
dan Serambeak. Jenis sastra yang disebut terakhir inilah yang lebih populer
digunakan sehari-hari — baik oleh orangtua, remaja, dan anak-anak — dalam
berinteraksi.
Kekayaan budaya suku Rejang, dalam pandangan seorang
pemerhati masalah budaya di Bengkulu, Drs Tommy Suhaimi MSi, direfleksikan
dengan banyaknya orang asing serta pejabat pemerintahan di zaman Belanda dan
Inggris yang menulis dokumen tentang suku-bangsa ini. Setiap kali akan
mengakhiri jabatannya di wilayah yang didiami suku Rejang, pejabat penjajahan
di masa lalu itu selalu menyempatkan untuk menulis dokumen tentang suku Rejang
dalam
bentuk pidato pertanggungjawabannya. Dokumen ini di
kemudian hari menjadi bahan kajian bagi pejabat berikutnya. Serambeak sendiri
bisa diartikan sebagai pengungkapan cetusan hati nurani dengan menggunakan
bahasa yang halus, indah, berirama, dan banyak menggunakan kata-kata kiasan.
Menurut Tommy, yang kini menjabat Kepala bagian Humas Pemda Kodia Bengkulu,
serambeak dipakai dalam bidang yang cukup luas oleh suku Rejang. Dalam
kehidupan sehari-hari — waktu bermusyawarah maupun mengobrol biasa — sering
disisipkan serambeak di tengah pembicaraan. Begitu juga ketika menyambut tamu
yang dihormati, serta dalam rangkaian kegiatan perkawinan, dalam
pergaulan muda-mudi, dan lain-lain.
Bagi
suku Rejang, tamu memiliki arti penting yang harus dihormati dan dilayani
dengan baik.
Oleh sebab itu serambeak khusus untuk tamu juga banyak ragammnya.
Di antaranya:
Dio ade iben sapai daet,
moi mbuk iben. Iben ade delambea, gambea ade decaik, pinang ade desisit, rokok
ade depun. Ibennyo iben pena’ak magea suko panggea. Salang tun dumai belek moi
talang. Salang tun talang belek moi sadei. Dapet kene ta’ak dengen tawea.
Salang magea mendeak simeak. Arak suko padaa ngalo. Arak magea mendeak simeak.
Agang magea suko panggea.
Terjemahannya
kira-kira:
Ada
sirih terhampai di darat, makanlah sirih. Sirih ada selembar, gambir ada
secarik, pinang ada seiris, rokok ada sebatang. Sirih ini sirih penyapa untuk
para tamu yang berdatangan. Sirih penyapa bukan karena membuat kesalahan, tidak
pula karena membuat yang tidak baik. Sirih penyapa karena kami penuh harap,
harap kepada tamu yang datang. Gembira karena memenuhi undangan. Sedangkan
orang di ladang pulang ke talang, orang di talang pulang ke dusun. Semuanya
diundang, rasa suka dan gembira atas kedatangan tamu semuannya. Bagi muda-mudi,
kesantunan seseorang terucap dari serambeak yang disampaikan
Berikut ini contohnya:
Tun meleu diem puluk kelem. Tun titik diem
beak lekok.
(Orang hitam diam ditempat gelap. Orang kecil berada di lembah yang dalam).
Serambeak
ini bermaksud sebagai sikap merendahkan diri bahwa ia orang yang serba
kekurangan dan penuh kelemahan. Pemakainya biasa digunakan oleh remaja waktu
pacaran sebagai ungkapan bahwa ia penuh kekurangan. Keunikan suku Rejang yang jumlahnya diperkirakan sekitar 900 ribu jiwa —
mereka menghuni Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten
Musi Rawas (Sumsel), dan Kabupaten Lahat (Sumsel) mampu menarik perhatian
peneliti asing. Burhan Firdaus dalam bukunya Bengkulu dalam Sejarah yang
diterbitkan oleh Yayasan Seni Budaya Nasional Indonesia 1988, mengungkapkan
adanya seorang peneliti dari Australia Prof MA Jaspan dari Australia National
University (ANU) yang menetap bersama keluarga setempat tahun 1961-1963 untuk
meneliti suku bangsa Rejang.
Jaspan
menghasilkan beberapa buku, antara lain From Patriliny to Matriliny, Structural
Change Amongst the Redjang of Soutwest Sumatra, Folk Literature of South
Sumatra: Redjang Ka-ga-nga Texts, dan The Redjang Village Tribunal.
Buku-buku itu sampai kini
jadi bahan kajian penting bagi mahasiswa asing yang mengambil studi sejarah
budaya Indonesia. Residen kedua Bengkulu, Prof Dr Hazairin SH, yang oleh
pemerintah dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional pada 10 Nopember 1999,
mempertahankan disertasi doktornya berjudul De Redjang untuk mendapatkan gelar
PhD, dalam bidang hukum adat. Menurut Ketua Masyarakat Adat Bengkulu
Zamhari Amin, serambeak membuktikan bahwa nenek moyang kita dahulu mempunyai
budi bahasa, sopan santun, perasaan hati nurani yang halus, dan tatacara
pergaulan yang tinggi nilainya.
Oleh
karena itu, sudah sewajarnya generasi muda sebagai generasi penerus mengadakan
penelitian, pengumpulan, guna menggali dan menghidupkan kembali budaya yang
tinggi nilainya agar diketahui dan dipelajari oleh khalayak ramai.
Kalangan orangtua yang
masih memahami dan menguasai dinamika kebudayaan sukubangsa Rejang, menurut
Zamhari, kini sudah semakin berkurang. Mereka pada umumnya tidak meninggalkan
bukti tertulis tentang seluk-beluk kebudayaan Rejang.
”Jika kondisi ini terus
berlangsung, dalam lima dasawarsa mendatang, tidak hanya serambeak, tapi
kebudayaan suku Rejang tidak akan diketahui lagi oleh generasi mudanya. Selain
itu, orang Rejang sendiri terdistorsi oleh kebudayaan lain bahkan budaya
asing,” ujarnya.
pertamanya
ditemukan di Desa Siang, muara sungai ketahun. Pada masa itu pemimpin masyarakat
rejang adalah Haji Siang. Dimana sebelum Haji Siang, lima tahap diatas Haji
Siang orang rejang sudah ada. Pada masa haji ini ada emapat orang haji yaitu
Haji Siang, Haji Bintang, haji Begalan Mato dan Haji Malang. Karena mereka
berempat tidak bisa memimpin dalam satu daerah, akhirnya mereka membagi wilayah
kepemimpinan. Haji Siang tinggal di Kerajaan Anak Mecer, Kepala Sungai Ketahun,
Serdang Kuning. Haji Bintang ada di Banggo Permani, manai menurut istilah
rejangnya yang sekarang terletak di Kecamatan Danau Tes. Haji Begalan Mato
tinggal di Rendah Seklawi atau Seklawi Tanah Rendah. Kerajaan Haji Malang
bertempat tinggal diatas tebing, sekarang namanya sudah menjadi Kecamatan Taba'
Atas.
Dalam keempat kepemimpinan ini mereka ada sebuah falsafah hidup yang diterapkan
yang itu pegong pakeui, adat cao beak nioa pinang yang berartikan adat yang
berpusat ibarat beneu. Bertuntun ibarat jalai (jala ikan), menyebar ibarat
jala, tuntunannya satu. Jika sudah berkembang biak asalnya rejang tetap satu.
Kenapa ibarat beneu? beneu ini satu pohon, tapi didahan daunnya kait-mengait
walaupun ada yang menyebar atau menjalar jauh. Walaupun pergi ketempat yang
jauh tapi tahu akan jalinan/hubungan kekeluargaannya. Bisa kembali lagi
darimana asal mereka berada.
Pegong pakeui juga mengajarkan bahwa kita sebagai manusia mempunyai hak yang
sama. Jika kita sama-sama memiliki, maka kita membaginya sama rata. Jika kita
menakar (membagi), misalnya membagi beras, kita menakarnya sama rata atau sama
banyaknya. Jika kita melakukan timbangan, beratnya harus sama berat. Itulah
pegong pakeui orang rejang. Amen bagiea' samo kedaou, ameun betimbang samo
beneug, amen betakea samo rato. Artinya jika membagi sama banyak, jika
menimbang sama berat, jika menakar sama rata). Itulah cara adat rejang.
Dengan persebaran dan berkembang biaknya dari empat kerjaan ini mereka mencari
tempat-tempat di kepala air (hulu sungai) untuk dijadikan tempat tinggal.
Seperti yang ada sekarang ini yaitu Rejang Aweus, Rejang Lubuk Kumbung yang ada
didaerah Muaro Upit, Rejang Lembak (Lembok Likitieun, Lembok Pasinan) dan
termasuk juga Rejang Kepala Curup. Dasar persebaran ini adalah dari Rio (belum
jelas Rio ini siapa dan keturunan darimana). Dipercaya Rio berasal dari Desa
Topos yang pecahan kebawahnya adalah Tuanku Rio Setagai Panjang. Rio Setagai
Panjang ini memiliki tujuh orang bersaudara dan berpencar untuk mencari tempat
tinggal. Diantara dari tujuh Rio tersebut dan persebarannya di Bengkulu adalah
sebagai berikut:
1. Rio Tebuen ada di Desa Lubuk Puding, Pasema Air Keruh
2. Rio Penitis ada di Curup. daerah Selumpu Sape
3. Rio Mango' keturunannya sekarang mulai dari Pagar Jati sampai ke hulu nya
yaitu Desa Gading, Padang Benar dan Taba Padang
4. Rio Mapai sekarang keturuanannya ada di Kecamatan Lais, itulah asal orang
rejang yang terletak di bagian utara
Suku Rejang memiliki lima marga, yaitu Jekalang, Manai, Suku Delapan, Suku
Sembilan dan Selumpu. Lima marga inilah sekarang yang ada di tanah rejang yang
ada di Bengkulu. Jika ada yang pindah ketempat lain mereka akan tetap
berdasarkan lima marga tersebut. Walaupun mungkin banyak orang-orang rejang
yang ada di Bengkulu sudah tidak tahu lagi mereka masuk kedalam marga apa.
Dikatakan oleh orang tua dahulu pecua' bia piting kundei tanea' ubeuat, pecua
bia' piting kundei tanea' guao', istilah rejangnya mbon stokot, 'mbar-mbar
ujung aseup, royot kundeui ujung stilai. Artinya masih ada asal usul yang
menyangkut tanah lebong, walau dia berpencar kemanapun. Dari kepercayaan yang
ada, mereka percaya asal mula rejang itu satu. Tidak ada bibitnya (asal
usulnya) dari orang lain. Semuanya berasal dari Ruang Lebong atau Daerah Lebong
yaitu dari Ruang Sembilan Sematang. Walaupun sekarang orang rejang atau
suku-suku rejang sudah menyebar dipelosok nusantara ini ataupun diluar negeri
sekalipun.
Sumber: http://taneaktanai.blogspot.com/2009/03/menapak-jejak-sejarah-suku-rejang.html